BAB I
PENDAHULUAN
Bagi setiap pendidik, baik yang
berstatus sebagai kepala sekolah maupun sebagai guru mata pelajaran dituntut
untuk memahami konsep-konsep dasar tentang perencanaan pendidikan,
pendekatan dalam perencanaan pendidikan dan beragam model perencanaan
pendidikan. Kualitas pemahaman kepala sekolah terhadap ketiga konsep tersebut
akan berpengaruh positif terhadap pelaksanaan manajemen pendidikan di setiap
satuan pendidikan. Demikian juga bagi guru, kualitas pemahaman terhadap ketiga
konsep tersebut akan mendukung pelaksanaan empat kompetensi professional guru
dalam proses layanan pendidikan kepada peserta didik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
kajian tentang konsep perencanaan, pendekatan dan model perencanaan pendidikan
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas atau kompleks. Oleh karena itu kajian
singkat berikut ini lebih menekankan pada tiga aspek, yaitu: (1) pendekatan perencanaan pendidikan; (2)
persoaln mendasar yang dihadapi dunia pendidikan, dan (3) usaha yang harus
disiapkan dan dilakuakn untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Sedangkan tujuan yang hendak diraih dari
kajian singkat ini adalah diharapkan kajian singkat ini dapat memberikan
informasi awal bagi para peminat kajian tentang Peningkatan Mutu Pendidikan ,
dan terus termotivasi untuk meningkatkan pemahamanan lebih lanjut pada
sumber-sumber ilmiah lainnya.
BAB II
Pembahasan
A.
Pendekatan
dalam melakukan perenanaan
Pada
dasarnya pengertian dari perencaan menurut Prajudi Atmosudirdjo adalah perhitungan dan penentuan tentang
sesuatu yang akan dijalankan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, siapa yang
melakukan, bilamana, dimana dan bagaimana cara melakukannya. Dan dalam
melakukan perencaan-perencanaan dalam bidang pendidikan. Maka hal terkait
dengan itu adalah pendekatan dalam perencanaan. Karena pada dasarnya pendekatan
bertujuan agar kita lebih fokus kepada masalahyang sedang dan akan dibahas.
Dalam
perencanaan pendidikan terdapat tiga model pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan
permintaan masyarakat (social demand approach)
Dalam pendekatan ini program pendidikan memang dibuat atas
dasar permintaan yang ada di dalam masyarakat dan cenderung memperhatikan
tuntutan sosial akan pendidikan. Pendekatan ini memakai asumsi bahwa layanan
pendidikan merupakan kewajiban pemerintah suatu negara kepada rakyatnya, oleh
karena itu misi sosial dalam pelayanannya sangat menonjol, terutama untuk
jenjang pendidikan dasar.
Para ahli ekonomi banyak mengkritik
pendekatan perencanaan model ini, mereka berpendapat pendekatan ini mengabaikan
masalah besarnya sumber alokasi nasional dan juga menganggap bahwa pemerintah
telah mengabaikan prinsip efisiensi alokasi sumber daya dan tidak mempersoalkan
berapa banyaknya sumber daya yang dialirkan dan dipergunakan untuk membiayai
penyelenggaraan sistem pendidikan. Padahal sumber tersebut dapat dipakai dengan
baik untuk perkembangan nasional secara keseluruhan terutama dilihat dari sudut
investasi ekonomi.
Selain itu pendekatan ini
mengabaikan sifat dan macam tenaga kerja yang dihasilkan yang diperlukan oleh sektor
ekonomi, untuk beberapa lapangan kerja jumlah tenaga kerja yang tersedia begitu
melimpah sementara untuk lapangan kerja yang lain tidak tersedia.
2. Pendekatan
ketenagakerjaan (man power planning)
Pendekatan ini mendesain perencanaan pendidikan dikaitkan
dengan pengembangan tenaga manusia melalui pendidikan, guna memenuhi tuntutan
kebutuhan sektor perekonomian. Pendekatan ini memprioritaskan perencanaan
pendidikan pada peningkatan/pengembangan pendidikan yang lebih tinggi
(universitas), karena berhubungan langsung dengan penyediaan tenaga kerja yang
dibutuhkan oleh sektor perekonomian. Sementara pendidikan di tingkat dasar
kurang diperhatikan karena tidak menyediakan tenaga kerja secara langsung,
kalaupun ada hanya tenaga kerja yang berlevel rendah.
Dalam perencanaan ketenagakerjaan
ini dilakukan perkiraan-perkiraan terhadap kebutuhan tenaga kerja untuk
sektor-sektor perekonomian. Pendekatan ini dapat dilakukan di level nasional,
lokal maupun di dalam suatu lingkungan industri. Pada tingkat lokal akan memberikan
dampak pada kebijakan dan pengembangan program pengembangan SDM.
Pendekatan ini banyak digunakan
untuk menentukan jenis dan program pelatihan yang dipersyaratkan bagi tenaga
kerja, dan perbandingan manfaat-biaya (cost-benefit) analysis) yang dapat
dijadikan alternatif program pelatihan bagi tenaga kerja.
3. Pendekatan
nilai tambah (the rate of return approach).
Pada dasarnya pendekatan ini
pengembangan lebih lanjut dari pendekatan ketenagakerjaan (man power planning).
Pendekatan nilai tambah yang dikaitkan dengan ketenagakerjaan ini merupakan
pendekatan yang banyak disukai oleh perencana pendidikan khususnya para ahli
ekonomi.
Pendekatan ini menitikberatkan pada keseimbangan antara
keuntungan dan kerugian. Prinsip untung rugi inilah yang dipakai oleh individu
yang rasional kalau memutuskan bagaimana sebaiknya membelanjakan uangnya agar
keinginannya tercapai. Ia meneliti alternatif-alternatifnya, menimbang biaya
masing-masing alternatif itu dan kepuasan yang menyertainya atau kegunaan yang
akan diperolehnya dan kemudian memilih kemungkinan-kemungkinan tertentu sebatas
kemampuannya yang paling menguntungkan. Para ahli ekonomi ini mengatakan bahwa
perencanaan ekonomi dan pendidikan harus mengikuti cara berpikir yang sama
seperti ini apabila menghadapi masalah alokasi dari keseluruhan sumber dana
untuk sektor-sektor penting yang berbeda atau didalam menghadapi alokasi dari
keseluruhan sumber sistem pendidikan untuk berbagai sub sektornya. Sebagai
seorang perencana yang baik dituntut untuk berpikir secara intuitif dalam arti
untung rugi ini.
Dalam tataran strategi makro, pendidikan merupakan sebuah
investasi sosial jangka panjang dalam mendukung proses pembangunan. Pendidikan
adalah driver sekaligus katalisator percepatan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan pendidikan Kota Tasikmalaya perlu
dikembangkan secara komprehensif, sebagai rencana sistematik dalam
menumbuhkembangkan dan memberdayakan sumber daya manusia Kota Tasikmalaya
sekaligus mendukung usaha pembangunan daerah dan pembangunan nasional.
B. Hal-Hal
Yang Harus Diperhatikan Dan Dipersiapkan Untuk Memperbaiki Kualitas Pendidikan
Dalam hal memperbaiki kualitas pendidikan, maka yang menjadi
sorotan dan usaha perbaikan adalah dengan melihat dan menganalisis yang terjadi
dalam tubuh pendidikan baik yang bersifat internal maupun eksternal, sehingga
dengan mengetahui penyebab masalah, maka kita akan tahu bagaimana
memperbaikinya.
ü Faktor internal,
meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis
depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah
dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
ü Faktor eksternal, adalah
masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan
tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Dan yang harus dipersiapkan dan juga diteruskan dengan tindak
lanjut pelaksanaan dari persiapan yang dilakukan yaitu adalah:
1. Meningkatkan Kualitas Sarana
Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan
perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Meningkatkan Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup
memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih
rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya
dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya
dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya
jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio
guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan
SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak
mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang
kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan
guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat
orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi
dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru
yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang
belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak
sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa
lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya
lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak
memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan
pendidikan yang berlangsung di sekolah harus
secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi
pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya
mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti
kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi
tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh
masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Meningkatkan Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan
pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada
sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang
pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan
guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan
kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat
penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan
yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta
penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat
pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri
menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan
swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan
Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat
dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan
amanat UU Guru dan Dosen.
4. Meningkatkan Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik,
kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi
tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia
di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations
for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang
kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang
berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia
hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan
negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia
(Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of
Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca
siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca
untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6
(Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari
materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk
uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa
menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic
and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa,
diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada
urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77
universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di
Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Menyeimbangkan Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan
masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga
Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak
usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini
termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan
di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat
untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Meningkatkan Relevansi Pendidikan
dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang
menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan
angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama
pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut
data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus
sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah
ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan
kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan
ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Meminimalisir Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam
bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan
Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp
500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk
SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan
sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan
Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih
luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu
berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan
anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya,
Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun
hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan
rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum
jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan
status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang
sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum
Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri
berdampak pada melambungnya biaya pendidikan
di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam
sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen
dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap
pendanaan besar seperti pendidikan menjadi
korban. Dana pendidikan terpotong hingga
tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar
hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui
sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan
Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53
(1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal
untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan
berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan.
Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir.
Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan
agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara
donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan
tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah
status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika
alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus
mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda,
dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu
namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan
biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya,
tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap
warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk cuci tangan.
C. Persoalan
Mendasar Yang Dihadapi Oleh Dunia Pendidikan Saat ini
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami
“sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini
disebabkan karena pendidikan yang seharusnya
membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak
begitu. Seringkali pendidikan tidak
memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
a. Masalah
pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di
Indonesia, menghasilkan “manusia robot”.
Kami katakan demikian karena pendidikan
yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang
seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa
(afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah
disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang
belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam
kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan
sebagainya.
Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan
seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid.
Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan
“siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara
kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama
seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi
sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut
pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan.
b. Masalah
kedua adalah sistem pendidikan yang top-down
(dari atas ke bawah)
Sistem pendidikan yang
top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire
(seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan
gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak
membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang
tidak tahu apa-apa.
Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk
menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai
pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit
box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila
sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid
hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid
sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak
membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah
anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan
kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
c. Pendidikan
yang bersifat memenuhi kebutuhan zaman dan bukan kirit kepada zaman
Model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk
memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena
yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia
tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia).
Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda
zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu
strategi pendidikan di Indonesia harus
terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang
sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial,
budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini
penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat
kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan
kita.
Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan
sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan
tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu
menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain?
Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Dan sebagai tambahan dari materi yang telah dijelaskan
diatas adalah, disini pemakalah menambahkan solusi yang dapat dijadikan bahan
bagi kita semua terhadap usaha meningkatkan kualitas pendidikan dengan
pendekatan perencanaan.
Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti
rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti
yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
- Solusi sistemik, yakni solusi
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi
yang diterapkan. Sistem pendidikan di
Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme
(mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
- Solusi teknis, yakni solusi yang
menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan.
Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi
siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada
upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan
berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa,
misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi
pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari
keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM
tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat
teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik,
mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi
siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan
kesempatan pendidikan.
Namun sebenarnya yang
menjadi masalah mendasar dari pendidikan di
Indonesia adalah sistem pendidikan di
Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia
yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi
kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Maka disinilah
dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ani M. Hasan.(2003). Pengembangan Profesionalisme Guru
di Abad Pengetahuan. Tersedia di
: www.pendidikan network.com. [10112009]
Djaali. (2007). Peningkatan Mutu
Pendidikan Nasional Melalui Program Sertifikasi. Buletin BSNP Vol. II/No. 2/Mei 2007
Sagala, S. 2009. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan. Alfabeta. Bandung.
Sanjaya, W., 2007. Strategi Pembelajaran, Berorientasi
Standar Proses Pendidikan. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Soenarya, E. 2000. Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan
Berdasarkan Pendekatan Sistem. Adicita. Yogyakarta.
Tilaar.H.A.R. 1998. Manajemen Pendidikan Nasional (Kajian
Pendidikan Masa Depan). PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Usman, H. 2008. Manajemen Teori Praktik dan Riset
Pendidikan.Bumi Aksara. Jakarta.
Vebriarto. 1982. Pengantar Perencanaan Pendidikan. Penerbit
Paramita. Yogyakarta.
salam sukses, angin timur
director of change
Mulia Raja Lubis (edan.raja@yahoo.com/ angin.raja20@yahoo.com)
director of change
Mulia Raja Lubis (edan.raja@yahoo.com/ angin.raja20@yahoo.com)
semoga bermanfaat buat semuanya.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
menggapai asa dalam kesempatan dan kemauan
mentukan pilihan yg ada dengan bijak dan makna
karena pilihan adalah awal dari perjalanan panjang