Translate

Kamis, 28 Maret 2013

harleem shake

dunia ini indah, maka hiasi keindahan itu dengan senyuman yang dapat menyejukkan mata dan hati

Perubahan Politik dan Keagamaan



BAB I
PENDAHULUAN
Perubahan politik di lingkungan tokoh agama dapat dilihat sejak awal masa reformasi. Di era reformasi, terdapat perubahan peta sosial-politik yang sangat besar dibanding dengan pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru diberlakukan sistem kepartaian yang sangat terbatas, yaitu hanya satu golongan dan dua partai politik. Pada masa itu juga terjadi single majority yang dipegang oleh Golkar, sedangkan dua partai yang lain PPP dan PDI adalah partai ‘pelengkap penderita’.
Perubahan sistem kepartaian di era reformasi direspon oleh tokoh agama dengan cara yang beragam seperti menggagas berdirinya partai politik. Beberapa partai bentukan para tokoh agama dan kyai adalah Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nahdlatul Ummat, Partai Kebangkitan Umat, Partai Keadilan, Partai Bulan Bintang dan sebagainya. Di kalangan NU misalnya, wadah penyaluran aspirasi warga NU sebagian besar diberikan kepada PKB, karena memang PKB secara resmi didirikan oleh NU dan sebagian besar tokoh-tokoh NU.
Kecenderungan perubahan perilaku politik tokoh agama dari yang bersifat kultural ke arah perilaku yang bersifat struktural dengan politik praktis tidak hanya terjadi di kalangan salah satu ormas, tetapi juga di kalangan umat Islam lainnya, terbukti dengan lahirnya partai-partai Islam sejak era reformasi. Berdasarkan pengamatan awal perilaku politik tokoh agama di Pati, kegiatan-kegiatan yang dilakukan memang banyak bersentuhan dengan wilayah politik praktis. Sentuhan dengan wilayah politik praktis ini tidak dapat dihindari karena Pati sangat heterogen masyarakatnya dengan latar belakang politik yang beragam sehingga mempengaruhi model kekuasaan dengan perubahan politik yang luar biasa dinamis. Hal ini menunjukkan adanya kepentingan-kepentingan politik praktis untuk berperan dalam pos-pos kekuasaan yang strategis.
Faktor kepemimpinan di lingkungan pesantren dinilai memiliki tingkatan uswah hasanan yang ideal sehingga layak dan seharusnya diikuti oleh masyarakat (Mas’ud, 2002). Kepemimpinan pengasuh pesantren diyakini sebagai tindak lanjut dan penerus dari ciri-ciri kepemimpinan Rasulullah, sehingga masyarakat tidak meragukan terhadap pemimpin pesantren sebagai tokoh panutan yang memiliki pengaruh kuat pada jiwa masyarakat. Pengaruh kuat dari sikap kepemimpinan muncul bukan saja karena ada faktor keturunan, melainkan ada kekuatan akademik keilmuan yang dikuasai oleh para pengasuh.
Sungguhpun memiliki kekuatan dan pengaruh dalam membina sikap para santri, dalam fakta kehidupan politik belum menjadi jaminan yang dapat diyakini bahwa seorang tokoh di lingkungan pesantren juga menjadi panutan dalam kehidupan politik. Berbagai faktor dapat mempengaruhi perubahan perilaku dalam berpolitik. Dari kepentingan yang bersifat pribadi sampai pada kepentingan yang berorientasi kelembagaan menjadi salah satu pemicu pergeseran sikap menentukan pilihan. Perlu dicari akar permasalahan yang menjadi pertimbangan mengapa terjadi perubahan partisipasi sikap berpolitik dari para tokoh agama. Selanjutnya dicari solusi yang memberikan manfaat bagi perkembangan pendidikan politik di masa mendatang bagi warga pesantren maupun masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN
PERUBAHAN POLITIK DAN KEAGAMAAN

A.    Pengertian Politik dan Kegamaan
            Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
            Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.
            Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
            Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.
Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Sedangkan Pengertian Keagamaan Secara Etimologi, istilah keagamaan itu berasal dari kata “Agama” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” sehingga menjadi keagamaan. Kaitannya dengan hal ini, W.J.S. Poerwadarminta (1986 : 18), memberikan arti keagamaan sebagai berikut : Keagamaan adalah sifat-sifat yang terdapat dalam agama atau segala sesuatu mengenai agama, misalnya perasaan keagamaan, atau soal-soal keagamaan.
Adapun secara istilah H.M. Arifin (1985 : 69) memberi pengertian “Agama” dapat dilihat dari dua (2) aspek yaitu : a. Aspek Subyektif (pribadi manusia), b. Aspek Objektif.
Aspek subyektif agama mengandung pengertian tingkah laku manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan yang berupa getaran batin yang dapat mengatur dan mengarahkan tingkah laku tersebut kepada pola hubungan antar manusia dengan Tuhannya dan pola hubungan dengan masyarakat serta alam sekitarnya.
Aspek objektif agama dalam pengertian ini mengandung nilai-nilai ajaran Tuhan yang bersifat manuntun manusia kearah tujuan sesuai dengan kehendak ajaran tersebut.

B.     Sistem Religio Politik Tradisional
Pada perkembangannya, antropologi berusaha mengungkap latar belakang mengapa manusia percaya pada kekuatan supranatural? Mengapa pula manusia melakukan aktifitas-aktifitas yang beraneka ragam untuk melakukan dan mencari hubungan dengan kekuatan supranatural? Mengapa masyarakat yang satu dengan lainnya memiliki sistem religi yang berbeda-beda? Bagaimana pula sistem religi mengalami perubahan?

Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, para antropolog mencoba mengamati berbagai sisrem religi yang ada dimuka bumi ini dan kemudian mengklarifikasi kedalam beberapa konsep. Beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejalah yang tidak dapat dijelaskan dengan akalnya;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena ada kejadian luar biasa dalam hidupnya dan alam sekelilingnya;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena adanya suatu getaran atau emosi yang timbul dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa persatuan sebagai warga masyarakat;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu karena manusia mendapat suatu firman dari tuhan (Koentjaraningrat)
Religi sebagai suatu sistem memperlihatkan adanya kesalinghubungan antar lima unsur yang ada didalamnya yakni emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara keagamaan, peralatan upacara dan kelompok keagamaan.

1.      Unsur-Unsur Dasar Sistem Religi.
Dari bentuk-bentuk religi yang ada di muka bumu ini, paling tidak terdapat lima unsur dasar religi, yaitu:
  • Emosi keagamaan/religious emotion/getaran jiwa.
  • Sistem kepercayaan/believe system atau bayang-bayang manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib, hidup dan mati dsb.
  • Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan.
  • Peralatan dan perlengkapan upacara.
  • Kelompok keagamaan/religious community atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem-sistem upacara keagamaan.
2.      Bentuk-Bentuk Religi

Bentuk-bentuk religi adalah sebagai berikut:
  • Fetishisme adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda tertentu. Kepercayaan ini melahirkan aktifitas-aktifitas religi guna memuja benda-benda berjiwa tersebut. Misalnya tradisi jawa ”memandikan” keris /pusaka pada bulan suro. Jika tidak dirawat/dimandikan akan hilang/ mencelakai pemiliknya.
  • Animisme adalah bentuk religi yang yang berdasarkan kepercayaan bahwa dialam sekeliling tempat tinggal manusia didiami berbagai macam ruh. Kepercayaan ini menimbulkan aktifitas religi dalam bentuk pemujaan roh-roh.
  • Animatisme, sebenarnya bukan bentuk religi melainkan suatu sistem kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan yang berada disekeliling manusia itu memiliki jiwa dan bisa berpikir seperti manusia. Kepercayaan ini tidak melahirkan bentuk aktifitas religi yang memuja benda atau tumbuhan tersebut, melainkan bisa menjadi unsur-unsur religi yang lain.
  • Pra-animisme, merupakan bentuk religi yang berdasarkan pada kekuatan sakti yang ada dalam segalah hal yang luar biasa dan terdiri dari aktifitas religi yang berpedoman pada kepercayaan tersebut. Pra-animisme disebut juga dinamisme.
  • Totemisme, bentuk religi dalam masyarakatyang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yang unilineal. Klompok unilineal tersebut meyakini bahwa mereka berasal dari dewdewa nenek moyang yang satu. Untuk mempererat kesatuan dalam kelompok unilineal tersebut, masing-masing kelompok memiliki lambang/simbol (totem) yang berbeda-beda. Bentuk totem  berupa tumbuh-tumbuhan, binatang, gejalah alam atau benda yang melambangkan nenek moyang mereka.
  • Polyteisme adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada satu sistem yang luas dari dewa-dewa dan terdiri dari upacara-upacara pemujaan dewa-dewa.
  • Monoteisme merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada satu tuhan dan terdiri dari upacara-upacara guna memuja Tuhan. Contohnya agama islam
  • Mistik adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada satu tuhan  yang dianggap meliputi segalah hal dalam alam semesta. Sistem kepercayaan ini terdiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan tuhan.
C.    Strukturalisasi Kembali Agama
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk menyimak pemikiran Claude Lévi-Strauss. Claude Lévi-Strauss adalah seorang antropolog sosial Perancis dan filsuf strukturalis. Ia lahir di Brussels, Belgia, pada 28 Nopember 1908 sebagai seorang keturuan Yahudi.
Sesungguhnya pendidikan formal dan minat Lévi-Strauss pada awalnya bukanlah Antropologi. Ketertarikannya terhadap antropologi bermula dari membaca buku Robert Lowie, dan saat itulah ketertarikannya akan dunia antropologi muncul. Akhirnya, Levi-Strauss semakin jelas berpaling kepada antropologi ketika mengajar di Sao Paulo, Brazil, dan melakukan studi antropologi yang lebih luas di pusat Brazil.
Teori struktural atau biasa disebut saja dengan strukturalisme, adalah sebuah aliran pemikiran yang berpengaruh dalam khazanah pemikiran Barat.  Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin structure (membangung), structura berarti bentuk bangunan dan ditambahi kata –ism menjadi sebuah paham atau aliran.[3] Jadi secara terminologi strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudyaan memiliki suatu bangunan yang sama dan tetap. Strukturalisme juga adalah sebuah pembedaan secara tajam mengenai masyarakt dan ilmu kemanusiaan.
Teori strukturalisme pada intinya berpendapat bahwa dalam segala keanekaragaman budaya tentu ada sebuah struktur pembentuk yang sifatnya universal, sama dimanpun dan kapanpun.

1.      Pendekatan Strukturalisme Terhadap Agama
Levi-Strauss mengatakan bahwa antropologi struktural adalah suatu jenis mite. Itulah inti dari teori strukturalisme menurut pendapat Levi-Strauss. Penjelasan ini juga menjadi dasar bagi cara dimana ia membicarakan fenomena manusia yang hampir membingungkan, yaitu mite. Levi-Strauss memulai analisis mitenya dengan definisi yang sederhana. Mite adalah sesuatu yang mengisahkan sebuah cerita. Tidak seperti puisi, dimana kata individual semuanya penting, dalam mite yang menjadi masalah adalah cerita, bukan kata. Dengan kata lain mite merupakan usaha untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang sulit dipahami. Dengan demikian mite, menurut Levi-Strauss tidak seperti puisi, tidak diterjemahkan dengan baik.
Dengan demikian, mite-mite menurut Levi-Strauss pada hakikatnya terdiri dari pengisahan cerita. Mite-mite tersebut menghubungkan urutan kejadian-kejadian itu sendiri dan dalam detail yang menyertainya. Jadi mite-mite tersebut selalu terbuka untuk diungkapkan ulang dan khususnya menyadarkan diri pada terjemahan. Dengan kata lain mite dapat dikisahkan ulang dalam kata-kata lain

2.      Ide-Ide Dan Nilai Keagamaan Dalam Diri Remaja
Dalam tahap perkembangan manusia, maka remaja menduduki tahap progresif. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama para remaja terhadap jaran agama dan tindak keagamaan yang Nampak pada remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
               Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohaninya. Perkembangan itu menurut W.Starbuck adalah :
a.    Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama pun sudah mulai timbul. Dari hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menunjukkan bahwa agama yang dianutnya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. Sebaliknya, agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang pengmbangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya. Ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.
b.      Perkembangan Perasaan
            Perasaan yang telah berkembang pada remaja, perasaan sosial,etis, dan estensis mendorng remaja untuk menghayati kehidupan dan terbiasa dengan lingkungannya. Kehidupan religious cenderung mendorong dirinya lebih dekat kea rah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah dodominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa yang dodorong dengan kematangan seksual, serta perasaan yang ingin tahu dan perasaan super. Remaja akan lebih mudah terperosok kea rah tindakan seksual yang negatif.
c.       Pertimbangan Sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu, karena kehidupan duniawi leih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka remaja cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1.789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukkan, bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan: keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri, dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah agama hanya sekitar 3,6%.
d.      Perkembangan Moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada remaja mencakup:
1)      Sefl-directive, taat terhadap agama dan moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2)      Adaftive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3)      Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4)      Unadjusted, belum menyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5)      Deviant, menolak dasar dan hokum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
e.       Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari keiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).


BAB III
 KESIMPULAN
Pada perkembangannya, antropologi berusaha mengungkap latar belakang mengapa manusia percaya pada kekuatan supranatural? Mengapa pula manusia melakukan aktifitas-aktifitas yang beraneka ragam untuk melakukan dan mencari hubungan dengan kekuatan supranatural? Mengapa masyarakat yang satu dengan lainnya memiliki sistem religi yang berbeda-beda? Bagaimana pula sistem religi mengalami perubahan?

Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, para antropolog mencoba mengamati berbagai sisrem religi yang ada dimuka bumi ini dan kemudian mengklarifikasi kedalam beberapa konsep. Beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejalah yang tidak dapat dijelaskan dengan akalnya;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena ada kejadian luar biasa dalam hidupnya dan alam sekelilingnya;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena adanya suatu getaran atau emosi yang timbul dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa persatuan sebagai warga masyarakat;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu karena manusia mendapat suatu firman dari tuhan (Koentjaraningrat)
Religi sebagai suatu sistem memperlihatkan adanya kesalinghubungan antar lima unsur yang ada didalamnya yakni emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara keagamaan, peralatan upacara dan kelompok keagamaan.


DAFTAR PUSTAKA



Perubahan Politik dan Keagamaan



BAB I
PENDAHULUAN
Perubahan politik di lingkungan tokoh agama dapat dilihat sejak awal masa reformasi. Di era reformasi, terdapat perubahan peta sosial-politik yang sangat besar dibanding dengan pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru diberlakukan sistem kepartaian yang sangat terbatas, yaitu hanya satu golongan dan dua partai politik. Pada masa itu juga terjadi single majority yang dipegang oleh Golkar, sedangkan dua partai yang lain PPP dan PDI adalah partai ‘pelengkap penderita’.
Perubahan sistem kepartaian di era reformasi direspon oleh tokoh agama dengan cara yang beragam seperti menggagas berdirinya partai politik. Beberapa partai bentukan para tokoh agama dan kyai adalah Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nahdlatul Ummat, Partai Kebangkitan Umat, Partai Keadilan, Partai Bulan Bintang dan sebagainya. Di kalangan NU misalnya, wadah penyaluran aspirasi warga NU sebagian besar diberikan kepada PKB, karena memang PKB secara resmi didirikan oleh NU dan sebagian besar tokoh-tokoh NU.
Kecenderungan perubahan perilaku politik tokoh agama dari yang bersifat kultural ke arah perilaku yang bersifat struktural dengan politik praktis tidak hanya terjadi di kalangan salah satu ormas, tetapi juga di kalangan umat Islam lainnya, terbukti dengan lahirnya partai-partai Islam sejak era reformasi. Berdasarkan pengamatan awal perilaku politik tokoh agama di Pati, kegiatan-kegiatan yang dilakukan memang banyak bersentuhan dengan wilayah politik praktis. Sentuhan dengan wilayah politik praktis ini tidak dapat dihindari karena Pati sangat heterogen masyarakatnya dengan latar belakang politik yang beragam sehingga mempengaruhi model kekuasaan dengan perubahan politik yang luar biasa dinamis. Hal ini menunjukkan adanya kepentingan-kepentingan politik praktis untuk berperan dalam pos-pos kekuasaan yang strategis.
Faktor kepemimpinan di lingkungan pesantren dinilai memiliki tingkatan uswah hasanan yang ideal sehingga layak dan seharusnya diikuti oleh masyarakat (Mas’ud, 2002). Kepemimpinan pengasuh pesantren diyakini sebagai tindak lanjut dan penerus dari ciri-ciri kepemimpinan Rasulullah, sehingga masyarakat tidak meragukan terhadap pemimpin pesantren sebagai tokoh panutan yang memiliki pengaruh kuat pada jiwa masyarakat. Pengaruh kuat dari sikap kepemimpinan muncul bukan saja karena ada faktor keturunan, melainkan ada kekuatan akademik keilmuan yang dikuasai oleh para pengasuh.
Sungguhpun memiliki kekuatan dan pengaruh dalam membina sikap para santri, dalam fakta kehidupan politik belum menjadi jaminan yang dapat diyakini bahwa seorang tokoh di lingkungan pesantren juga menjadi panutan dalam kehidupan politik. Berbagai faktor dapat mempengaruhi perubahan perilaku dalam berpolitik. Dari kepentingan yang bersifat pribadi sampai pada kepentingan yang berorientasi kelembagaan menjadi salah satu pemicu pergeseran sikap menentukan pilihan. Perlu dicari akar permasalahan yang menjadi pertimbangan mengapa terjadi perubahan partisipasi sikap berpolitik dari para tokoh agama. Selanjutnya dicari solusi yang memberikan manfaat bagi perkembangan pendidikan politik di masa mendatang bagi warga pesantren maupun masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN
PERUBAHAN POLITIK DAN KEAGAMAAN

A.    Pengertian Politik dan Kegamaan
            Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
            Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.
            Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
            Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.
Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Sedangkan Pengertian Keagamaan Secara Etimologi, istilah keagamaan itu berasal dari kata “Agama” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” sehingga menjadi keagamaan. Kaitannya dengan hal ini, W.J.S. Poerwadarminta (1986 : 18), memberikan arti keagamaan sebagai berikut : Keagamaan adalah sifat-sifat yang terdapat dalam agama atau segala sesuatu mengenai agama, misalnya perasaan keagamaan, atau soal-soal keagamaan.
Adapun secara istilah H.M. Arifin (1985 : 69) memberi pengertian “Agama” dapat dilihat dari dua (2) aspek yaitu : a. Aspek Subyektif (pribadi manusia), b. Aspek Objektif.
Aspek subyektif agama mengandung pengertian tingkah laku manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan yang berupa getaran batin yang dapat mengatur dan mengarahkan tingkah laku tersebut kepada pola hubungan antar manusia dengan Tuhannya dan pola hubungan dengan masyarakat serta alam sekitarnya.
Aspek objektif agama dalam pengertian ini mengandung nilai-nilai ajaran Tuhan yang bersifat manuntun manusia kearah tujuan sesuai dengan kehendak ajaran tersebut.

B.     Sistem Religio Politik Tradisional
Pada perkembangannya, antropologi berusaha mengungkap latar belakang mengapa manusia percaya pada kekuatan supranatural? Mengapa pula manusia melakukan aktifitas-aktifitas yang beraneka ragam untuk melakukan dan mencari hubungan dengan kekuatan supranatural? Mengapa masyarakat yang satu dengan lainnya memiliki sistem religi yang berbeda-beda? Bagaimana pula sistem religi mengalami perubahan?

Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, para antropolog mencoba mengamati berbagai sisrem religi yang ada dimuka bumi ini dan kemudian mengklarifikasi kedalam beberapa konsep. Beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejalah yang tidak dapat dijelaskan dengan akalnya;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena ada kejadian luar biasa dalam hidupnya dan alam sekelilingnya;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena adanya suatu getaran atau emosi yang timbul dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa persatuan sebagai warga masyarakat;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu karena manusia mendapat suatu firman dari tuhan (Koentjaraningrat)
Religi sebagai suatu sistem memperlihatkan adanya kesalinghubungan antar lima unsur yang ada didalamnya yakni emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara keagamaan, peralatan upacara dan kelompok keagamaan.

1.      Unsur-Unsur Dasar Sistem Religi.
Dari bentuk-bentuk religi yang ada di muka bumu ini, paling tidak terdapat lima unsur dasar religi, yaitu:
  • Emosi keagamaan/religious emotion/getaran jiwa.
  • Sistem kepercayaan/believe system atau bayang-bayang manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib, hidup dan mati dsb.
  • Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan.
  • Peralatan dan perlengkapan upacara.
  • Kelompok keagamaan/religious community atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem-sistem upacara keagamaan.
2.      Bentuk-Bentuk Religi

Bentuk-bentuk religi adalah sebagai berikut:
  • Fetishisme adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda tertentu. Kepercayaan ini melahirkan aktifitas-aktifitas religi guna memuja benda-benda berjiwa tersebut. Misalnya tradisi jawa ”memandikan” keris /pusaka pada bulan suro. Jika tidak dirawat/dimandikan akan hilang/ mencelakai pemiliknya.
  • Animisme adalah bentuk religi yang yang berdasarkan kepercayaan bahwa dialam sekeliling tempat tinggal manusia didiami berbagai macam ruh. Kepercayaan ini menimbulkan aktifitas religi dalam bentuk pemujaan roh-roh.
  • Animatisme, sebenarnya bukan bentuk religi melainkan suatu sistem kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan yang berada disekeliling manusia itu memiliki jiwa dan bisa berpikir seperti manusia. Kepercayaan ini tidak melahirkan bentuk aktifitas religi yang memuja benda atau tumbuhan tersebut, melainkan bisa menjadi unsur-unsur religi yang lain.
  • Pra-animisme, merupakan bentuk religi yang berdasarkan pada kekuatan sakti yang ada dalam segalah hal yang luar biasa dan terdiri dari aktifitas religi yang berpedoman pada kepercayaan tersebut. Pra-animisme disebut juga dinamisme.
  • Totemisme, bentuk religi dalam masyarakatyang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yang unilineal. Klompok unilineal tersebut meyakini bahwa mereka berasal dari dewdewa nenek moyang yang satu. Untuk mempererat kesatuan dalam kelompok unilineal tersebut, masing-masing kelompok memiliki lambang/simbol (totem) yang berbeda-beda. Bentuk totem  berupa tumbuh-tumbuhan, binatang, gejalah alam atau benda yang melambangkan nenek moyang mereka.
  • Polyteisme adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada satu sistem yang luas dari dewa-dewa dan terdiri dari upacara-upacara pemujaan dewa-dewa.
  • Monoteisme merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada satu tuhan dan terdiri dari upacara-upacara guna memuja Tuhan. Contohnya agama islam
  • Mistik adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada satu tuhan  yang dianggap meliputi segalah hal dalam alam semesta. Sistem kepercayaan ini terdiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan tuhan.
C.    Strukturalisasi Kembali Agama
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk menyimak pemikiran Claude Lévi-Strauss. Claude Lévi-Strauss adalah seorang antropolog sosial Perancis dan filsuf strukturalis. Ia lahir di Brussels, Belgia, pada 28 Nopember 1908 sebagai seorang keturuan Yahudi.
Sesungguhnya pendidikan formal dan minat Lévi-Strauss pada awalnya bukanlah Antropologi. Ketertarikannya terhadap antropologi bermula dari membaca buku Robert Lowie, dan saat itulah ketertarikannya akan dunia antropologi muncul. Akhirnya, Levi-Strauss semakin jelas berpaling kepada antropologi ketika mengajar di Sao Paulo, Brazil, dan melakukan studi antropologi yang lebih luas di pusat Brazil.
Teori struktural atau biasa disebut saja dengan strukturalisme, adalah sebuah aliran pemikiran yang berpengaruh dalam khazanah pemikiran Barat.  Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin structure (membangung), structura berarti bentuk bangunan dan ditambahi kata –ism menjadi sebuah paham atau aliran.[3] Jadi secara terminologi strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudyaan memiliki suatu bangunan yang sama dan tetap. Strukturalisme juga adalah sebuah pembedaan secara tajam mengenai masyarakt dan ilmu kemanusiaan.
Teori strukturalisme pada intinya berpendapat bahwa dalam segala keanekaragaman budaya tentu ada sebuah struktur pembentuk yang sifatnya universal, sama dimanpun dan kapanpun.

1.      Pendekatan Strukturalisme Terhadap Agama
Levi-Strauss mengatakan bahwa antropologi struktural adalah suatu jenis mite. Itulah inti dari teori strukturalisme menurut pendapat Levi-Strauss. Penjelasan ini juga menjadi dasar bagi cara dimana ia membicarakan fenomena manusia yang hampir membingungkan, yaitu mite. Levi-Strauss memulai analisis mitenya dengan definisi yang sederhana. Mite adalah sesuatu yang mengisahkan sebuah cerita. Tidak seperti puisi, dimana kata individual semuanya penting, dalam mite yang menjadi masalah adalah cerita, bukan kata. Dengan kata lain mite merupakan usaha untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang sulit dipahami. Dengan demikian mite, menurut Levi-Strauss tidak seperti puisi, tidak diterjemahkan dengan baik.
Dengan demikian, mite-mite menurut Levi-Strauss pada hakikatnya terdiri dari pengisahan cerita. Mite-mite tersebut menghubungkan urutan kejadian-kejadian itu sendiri dan dalam detail yang menyertainya. Jadi mite-mite tersebut selalu terbuka untuk diungkapkan ulang dan khususnya menyadarkan diri pada terjemahan. Dengan kata lain mite dapat dikisahkan ulang dalam kata-kata lain

2.      Ide-Ide Dan Nilai Keagamaan Dalam Diri Remaja
Dalam tahap perkembangan manusia, maka remaja menduduki tahap progresif. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama para remaja terhadap jaran agama dan tindak keagamaan yang Nampak pada remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
               Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohaninya. Perkembangan itu menurut W.Starbuck adalah :
a.    Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama pun sudah mulai timbul. Dari hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menunjukkan bahwa agama yang dianutnya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. Sebaliknya, agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang pengmbangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya. Ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.
b.      Perkembangan Perasaan
            Perasaan yang telah berkembang pada remaja, perasaan sosial,etis, dan estensis mendorng remaja untuk menghayati kehidupan dan terbiasa dengan lingkungannya. Kehidupan religious cenderung mendorong dirinya lebih dekat kea rah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah dodominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa yang dodorong dengan kematangan seksual, serta perasaan yang ingin tahu dan perasaan super. Remaja akan lebih mudah terperosok kea rah tindakan seksual yang negatif.
c.       Pertimbangan Sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu, karena kehidupan duniawi leih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka remaja cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1.789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukkan, bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan: keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri, dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah agama hanya sekitar 3,6%.
d.      Perkembangan Moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada remaja mencakup:
1)      Sefl-directive, taat terhadap agama dan moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2)      Adaftive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3)      Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4)      Unadjusted, belum menyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5)      Deviant, menolak dasar dan hokum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
e.       Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari keiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).


BAB III
 KESIMPULAN
Pada perkembangannya, antropologi berusaha mengungkap latar belakang mengapa manusia percaya pada kekuatan supranatural? Mengapa pula manusia melakukan aktifitas-aktifitas yang beraneka ragam untuk melakukan dan mencari hubungan dengan kekuatan supranatural? Mengapa masyarakat yang satu dengan lainnya memiliki sistem religi yang berbeda-beda? Bagaimana pula sistem religi mengalami perubahan?

Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, para antropolog mencoba mengamati berbagai sisrem religi yang ada dimuka bumi ini dan kemudian mengklarifikasi kedalam beberapa konsep. Beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejalah yang tidak dapat dijelaskan dengan akalnya;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena ada kejadian luar biasa dalam hidupnya dan alam sekelilingnya;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena adanya suatu getaran atau emosi yang timbul dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa persatuan sebagai warga masyarakat;
  • Kelakuan manusia yang bersifat religi itu karena manusia mendapat suatu firman dari tuhan (Koentjaraningrat)
Religi sebagai suatu sistem memperlihatkan adanya kesalinghubungan antar lima unsur yang ada didalamnya yakni emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara keagamaan, peralatan upacara dan kelompok keagamaan.


DAFTAR PUSTAKA