BAB I
PENDAHULUAN
Perubahan politik di lingkungan tokoh agama
dapat dilihat sejak awal masa reformasi. Di era reformasi, terdapat perubahan
peta sosial-politik yang sangat besar dibanding dengan pada masa Orde Baru.
Pada masa Orde Baru diberlakukan sistem kepartaian yang sangat terbatas, yaitu
hanya satu golongan dan dua partai politik. Pada masa itu juga terjadi single
majority yang dipegang oleh Golkar, sedangkan dua partai yang lain PPP dan
PDI adalah partai ‘pelengkap penderita’.
Perubahan sistem kepartaian di era reformasi
direspon oleh tokoh agama dengan cara yang beragam seperti menggagas berdirinya
partai politik. Beberapa partai bentukan para tokoh agama dan kyai adalah
Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nahdlatul Ummat, Partai Kebangkitan Umat, Partai
Keadilan, Partai Bulan Bintang dan sebagainya. Di kalangan NU misalnya, wadah
penyaluran aspirasi warga NU sebagian besar diberikan kepada PKB, karena memang
PKB secara resmi didirikan oleh NU dan sebagian besar tokoh-tokoh NU.
Kecenderungan perubahan perilaku politik tokoh
agama dari yang bersifat kultural ke arah perilaku yang bersifat struktural
dengan politik praktis tidak hanya terjadi di kalangan salah satu ormas, tetapi
juga di kalangan umat Islam lainnya, terbukti dengan lahirnya partai-partai Islam
sejak era reformasi. Berdasarkan pengamatan awal perilaku politik tokoh agama
di Pati, kegiatan-kegiatan yang dilakukan memang banyak bersentuhan dengan
wilayah politik praktis. Sentuhan dengan wilayah politik praktis ini tidak
dapat dihindari karena Pati sangat heterogen masyarakatnya dengan latar
belakang politik yang beragam sehingga mempengaruhi model kekuasaan dengan
perubahan politik yang luar biasa dinamis. Hal ini menunjukkan adanya
kepentingan-kepentingan politik praktis untuk berperan dalam pos-pos kekuasaan
yang strategis.
Faktor kepemimpinan di lingkungan pesantren
dinilai memiliki tingkatan uswah hasanan yang ideal sehingga layak dan
seharusnya diikuti oleh masyarakat (Mas’ud, 2002). Kepemimpinan pengasuh
pesantren diyakini sebagai tindak lanjut dan penerus dari ciri-ciri
kepemimpinan Rasulullah, sehingga masyarakat tidak meragukan terhadap pemimpin
pesantren sebagai tokoh panutan yang memiliki pengaruh kuat pada jiwa
masyarakat. Pengaruh kuat dari sikap kepemimpinan muncul bukan saja karena ada
faktor keturunan, melainkan ada kekuatan akademik keilmuan yang dikuasai oleh
para pengasuh.
Sungguhpun memiliki
kekuatan dan pengaruh dalam membina sikap para santri, dalam fakta kehidupan
politik belum menjadi jaminan yang dapat diyakini bahwa seorang tokoh di
lingkungan pesantren juga menjadi panutan dalam kehidupan politik. Berbagai
faktor dapat mempengaruhi perubahan perilaku dalam berpolitik. Dari kepentingan
yang bersifat pribadi sampai pada kepentingan yang berorientasi kelembagaan
menjadi salah satu pemicu pergeseran sikap menentukan pilihan. Perlu dicari
akar permasalahan yang menjadi pertimbangan mengapa terjadi perubahan
partisipasi sikap berpolitik dari para tokoh agama. Selanjutnya dicari solusi
yang memberikan manfaat bagi perkembangan pendidikan politik di masa mendatang
bagi warga pesantren maupun masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
PERUBAHAN POLITIK DAN KEAGAMAAN
A.
Pengertian
Politik dan Kegamaan
Secara
etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti
kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang
berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan
negara, politika yang berarti pemerintahan negara
dan
politikos yang berarti kewarganegaraan.
Aristoteles (384-322
SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik
melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan
istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik
dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan
politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak
dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya
dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika
ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.
Aristoteles
berkesimpulan
bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan
sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain.
Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk
memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata
politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim
dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan
unsur-unsur: negara
(state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy,
beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik
(atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu
dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making)
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi
terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan
yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu
ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut
pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber
(resources) yang ada.
Untuk
bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki
kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk
membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam
proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan
jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya
merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Sedangkan
Pengertian Keagamaan Secara Etimologi, istilah keagamaan itu berasal
dari kata “Agama” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” sehingga menjadi
keagamaan. Kaitannya dengan hal ini, W.J.S. Poerwadarminta (1986 : 18),
memberikan arti keagamaan sebagai berikut : Keagamaan adalah sifat-sifat yang
terdapat dalam agama atau segala sesuatu mengenai agama, misalnya perasaan
keagamaan, atau soal-soal keagamaan.
Adapun
secara istilah H.M. Arifin (1985 : 69) memberi pengertian “Agama” dapat dilihat
dari dua (2) aspek yaitu : a. Aspek Subyektif (pribadi manusia), b. Aspek
Objektif.
Aspek
subyektif agama mengandung pengertian tingkah laku manusia yang dijiwai oleh
nilai-nilai keagamaan yang berupa getaran batin yang dapat mengatur dan
mengarahkan tingkah laku tersebut kepada pola hubungan antar manusia dengan
Tuhannya dan pola hubungan dengan masyarakat serta alam sekitarnya.
Aspek
objektif agama dalam pengertian ini mengandung nilai-nilai ajaran Tuhan yang
bersifat manuntun manusia kearah tujuan sesuai dengan kehendak ajaran tersebut.
B.
Sistem
Religio Politik Tradisional
Pada perkembangannya, antropologi
berusaha mengungkap latar belakang mengapa manusia percaya pada kekuatan
supranatural? Mengapa pula manusia melakukan aktifitas-aktifitas yang beraneka
ragam untuk melakukan dan mencari hubungan dengan kekuatan supranatural?
Mengapa masyarakat yang satu dengan lainnya memiliki sistem religi yang
berbeda-beda? Bagaimana pula sistem religi mengalami perubahan?
Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut,
para antropolog mencoba mengamati berbagai sisrem religi yang ada dimuka bumi
ini dan kemudian mengklarifikasi kedalam beberapa konsep. Beberapa jawaban atas
pertanyaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa;
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejalah yang tidak dapat dijelaskan dengan akalnya;
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena ada kejadian luar biasa dalam hidupnya dan alam sekelilingnya;
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena adanya suatu getaran atau emosi yang timbul dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa persatuan sebagai warga masyarakat;
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu karena manusia mendapat suatu firman dari tuhan (Koentjaraningrat)
Religi sebagai suatu sistem
memperlihatkan adanya kesalinghubungan antar lima unsur yang ada didalamnya
yakni emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara keagamaan, peralatan
upacara dan kelompok keagamaan.
1.
Unsur-Unsur Dasar Sistem Religi.
Dari bentuk-bentuk religi yang ada di
muka bumu ini, paling tidak terdapat lima unsur dasar religi, yaitu:
- Emosi keagamaan/religious emotion/getaran jiwa.
- Sistem kepercayaan/believe system atau bayang-bayang manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib, hidup dan mati dsb.
- Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan.
- Peralatan dan perlengkapan upacara.
- Kelompok keagamaan/religious community atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem-sistem upacara keagamaan.
2.
Bentuk-Bentuk Religi
Bentuk-bentuk religi adalah sebagai berikut:
- Fetishisme adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda tertentu. Kepercayaan ini melahirkan aktifitas-aktifitas religi guna memuja benda-benda berjiwa tersebut. Misalnya tradisi jawa ”memandikan” keris /pusaka pada bulan suro. Jika tidak dirawat/dimandikan akan hilang/ mencelakai pemiliknya.
- Animisme adalah bentuk religi yang yang berdasarkan kepercayaan bahwa dialam sekeliling tempat tinggal manusia didiami berbagai macam ruh. Kepercayaan ini menimbulkan aktifitas religi dalam bentuk pemujaan roh-roh.
- Animatisme, sebenarnya bukan bentuk religi melainkan suatu sistem kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan yang berada disekeliling manusia itu memiliki jiwa dan bisa berpikir seperti manusia. Kepercayaan ini tidak melahirkan bentuk aktifitas religi yang memuja benda atau tumbuhan tersebut, melainkan bisa menjadi unsur-unsur religi yang lain.
- Pra-animisme, merupakan bentuk religi yang berdasarkan pada kekuatan sakti yang ada dalam segalah hal yang luar biasa dan terdiri dari aktifitas religi yang berpedoman pada kepercayaan tersebut. Pra-animisme disebut juga dinamisme.
- Totemisme, bentuk religi dalam masyarakatyang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yang unilineal. Klompok unilineal tersebut meyakini bahwa mereka berasal dari dewdewa nenek moyang yang satu. Untuk mempererat kesatuan dalam kelompok unilineal tersebut, masing-masing kelompok memiliki lambang/simbol (totem) yang berbeda-beda. Bentuk totem berupa tumbuh-tumbuhan, binatang, gejalah alam atau benda yang melambangkan nenek moyang mereka.
- Polyteisme adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada satu sistem yang luas dari dewa-dewa dan terdiri dari upacara-upacara pemujaan dewa-dewa.
- Monoteisme merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada satu tuhan dan terdiri dari upacara-upacara guna memuja Tuhan. Contohnya agama islam
- Mistik adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada satu tuhan yang dianggap meliputi segalah hal dalam alam semesta. Sistem kepercayaan ini terdiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan tuhan.
C.
Strukturalisasi
Kembali Agama
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat
yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai
suatu struktur yang sama dan tetap.
Untuk
mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk menyimak
pemikiran Claude Lévi-Strauss. Claude Lévi-Strauss adalah
seorang antropolog sosial Perancis dan filsuf strukturalis. Ia lahir di
Brussels, Belgia, pada 28 Nopember 1908 sebagai seorang keturuan Yahudi.
Sesungguhnya pendidikan formal dan minat Lévi-Strauss
pada awalnya bukanlah Antropologi. Ketertarikannya terhadap antropologi bermula dari
membaca buku Robert Lowie, dan saat itulah ketertarikannya akan dunia
antropologi muncul. Akhirnya, Levi-Strauss semakin jelas berpaling kepada
antropologi ketika mengajar di Sao Paulo, Brazil, dan melakukan studi
antropologi yang lebih luas di pusat Brazil.
Teori
struktural atau biasa disebut saja dengan strukturalisme, adalah sebuah aliran
pemikiran yang berpengaruh dalam khazanah pemikiran Barat. Strukturalisme
berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin structure
(membangung), structura berarti bentuk bangunan dan ditambahi kata –ism
menjadi sebuah paham atau aliran.[3] Jadi secara
terminologi strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan
bahwa semua masyarakat dan kebudyaan memiliki suatu
bangunan yang sama dan tetap. Strukturalisme
juga adalah sebuah pembedaan secara tajam mengenai masyarakt dan ilmu
kemanusiaan.
Teori strukturalisme pada intinya berpendapat bahwa dalam
segala keanekaragaman budaya tentu ada sebuah struktur pembentuk yang sifatnya
universal, sama dimanpun dan kapanpun.
1.
Pendekatan
Strukturalisme Terhadap Agama
Levi-Strauss mengatakan bahwa
antropologi struktural adalah suatu jenis mite. Itulah inti dari teori
strukturalisme menurut pendapat Levi-Strauss. Penjelasan ini juga menjadi dasar
bagi cara dimana ia membicarakan fenomena manusia yang hampir membingungkan,
yaitu mite. Levi-Strauss memulai analisis mitenya dengan definisi yang
sederhana. Mite adalah sesuatu yang mengisahkan sebuah cerita. Tidak seperti
puisi, dimana kata individual semuanya penting, dalam mite yang menjadi masalah
adalah cerita, bukan kata. Dengan kata lain mite merupakan usaha untuk
menjelaskan fenomena-fenomena yang sulit dipahami. Dengan demikian mite,
menurut Levi-Strauss tidak seperti puisi, tidak diterjemahkan dengan baik.
Dengan demikian, mite-mite menurut
Levi-Strauss pada hakikatnya terdiri dari pengisahan cerita. Mite-mite tersebut
menghubungkan urutan kejadian-kejadian itu sendiri dan dalam detail yang menyertainya.
Jadi mite-mite tersebut selalu terbuka untuk diungkapkan ulang dan khususnya
menyadarkan diri pada terjemahan. Dengan kata lain mite dapat dikisahkan ulang
dalam kata-kata lain
2.
Ide-Ide
Dan Nilai Keagamaan Dalam Diri Remaja
Dalam tahap perkembangan manusia, maka remaja menduduki
tahap progresif. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama
para remaja terhadap jaran agama dan tindak keagamaan yang Nampak pada remaja
banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan
agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan
rohaninya. Perkembangan itu menurut W.Starbuck adalah :
a. Pertumbuhan
Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama
yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi
mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama pun sudah mulai timbul. Dari hasil
penelitian Allport, Gillesphy dan Young menunjukkan bahwa agama yang dianutnya
bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk
tetap taat pada ajaran agamanya. Sebaliknya, agama yang ajarannya kurang
konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang pengmbangan pikiran
dan mental para remaja, sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya.
Ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap
keagamaan mereka.
b.
Perkembangan Perasaan
Perasaan
yang telah berkembang pada remaja, perasaan sosial,etis, dan estensis mendorng
remaja untuk menghayati kehidupan dan terbiasa dengan lingkungannya. Kehidupan
religious cenderung mendorong dirinya lebih dekat kea rah hidup yang religius
pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman
ajaran agama akan lebih mudah dodominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan
masa yang dodorong dengan kematangan seksual, serta perasaan yang ingin tahu
dan perasaan super. Remaja akan lebih mudah terperosok kea rah tindakan seksual
yang negatif.
c.
Pertimbangan Sosial
Corak
keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam
kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan
material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu, karena kehidupan
duniawi leih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka remaja cenderung jiwanya
untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1.789
remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukkan, bahwa 70% pemikiran remaja
ditujukan bagi kepentingan: keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan
diri, dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah agama hanya
sekitar 3,6%.
d.
Perkembangan Moral
Perkembangan moral para remaja
bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral
yang juga terlihat pada remaja mencakup:
1)
Sefl-directive, taat terhadap agama
dan moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2)
Adaftive, mengikuti situasi
lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3)
Submissive, merasakan adanya keraguan
terhadap ajaran moral dan agama.
4)
Unadjusted, belum menyakini akan
kebenaran ajaran agama dan moral.
5)
Deviant, menolak dasar dan hokum
keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
e.
Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja terhadap
masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari
keiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar
kecil minatnya).
BAB III
KESIMPULAN
Pada perkembangannya, antropologi
berusaha mengungkap latar belakang mengapa manusia percaya pada kekuatan
supranatural? Mengapa pula manusia melakukan aktifitas-aktifitas yang beraneka
ragam untuk melakukan dan mencari hubungan dengan kekuatan supranatural?
Mengapa masyarakat yang satu dengan lainnya memiliki sistem religi yang
berbeda-beda? Bagaimana pula sistem religi mengalami perubahan?
Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut,
para antropolog mencoba mengamati berbagai sisrem religi yang ada dimuka bumi
ini dan kemudian mengklarifikasi kedalam beberapa konsep. Beberapa jawaban atas
pertanyaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa;
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejalah yang tidak dapat dijelaskan dengan akalnya;
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena ada kejadian luar biasa dalam hidupnya dan alam sekelilingnya;
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena adanya suatu getaran atau emosi yang timbul dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa persatuan sebagai warga masyarakat;
- Kelakuan manusia yang bersifat religi itu karena manusia mendapat suatu firman dari tuhan (Koentjaraningrat)
Religi sebagai suatu sistem
memperlihatkan adanya kesalinghubungan antar lima unsur yang ada didalamnya
yakni emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara keagamaan, peralatan
upacara dan kelompok keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
menggapai asa dalam kesempatan dan kemauan
mentukan pilihan yg ada dengan bijak dan makna
karena pilihan adalah awal dari perjalanan panjang